Sabtu, 16 Februari 2013

KESUSATRAAN MUSI BANYUASIN DALAM PERIBAHASA



datang kuindu di tengah malam /
namek ubat penenang ati //
budaya sastra Muba endak tenggelam /
payu besame bangkit keh lagi //

 

Sekarang, bila kita bertanya kepada generasi muda Musi Banyuasin yang lahir di atas tahun 90an tentang peribahasa lama kesusastraan asli Muba semisalnya, “Bekatak dak mati, ulo dak kepunan” atau “Adat ulak timbunan rempan” maka yakinlah –delapan puluh persen dari mereka akan menjawab tidak pernah mendengar, jangankan untuk memahami; jauh panggang kedingen api.

Bilamana keadaannya sekarang saja telah begini, maka bayangkanlah bagaimana lagi keadaan duapuluh tahun mendatang? Barangkali, Serasan Sekate pun hanya akan menjadi kata yang tak lagi bermakna. Akankah Musi Banyuasin tercinta ini kehilangan jati diri sebagai suatu bagian dari kesukuan Melayu? Sebuah Kabupaten yang dulunya begitu kaya akan nilai-nilai susastranya, akan keluhuran indah bahasa dan budi pekerti masyarakatnya. Sekarang? mana Pantun mana Seramba – Dundai Melayu - Peribahasa – Busik Tawe – Andaiandai – Syairsyair …, bahkan Senjang Musi Banyuasin yang sangat menarik pun hanya segelintir generasi muda kini yang mau memerjuangkannya. Kiranya tak perlu menyalahkan apapun karena ini tanggung jawab kita bersama.

Saya bukanlah sesiapa, tapi saya sangat mencintai kesusastraan dan budaya Muba. Sebagai orang yang mencintai akan saya perjuangkan cinta itu, akan terus saya gali … gali … dan gali nilai-nilai kesusasteraan serta budaya daerah Muba, meskipun harus berdarah tangan ini. Pun demikian saya berharap, semoga mereka yang mempunyai cangkul, linggis, atau juga elevator berkenan untuk sejenak merenungkan diri sebab buluh sebatang dakke nimbulke rakit. Begitulah adanya, di bawah ini adalah sekumpulan dari sebahagian banyaknya Peribahasa-peribahasa asli Muba yang perlahan mulai terlupakan. Semoga nantinya akan tumbuh kesadaran di dalam diri kita semua, bahwasanya bahasa dan budaya adalah cerminan dari jati diri kita.

Semoga bermanfaat. Salam sayang dan kemilau ….


Peribahasa Musi Banyuasin dan Artinya

1. Menggotok embacang tumban kuini = Melempar (buah) embacang jatuh kuini.
            Buah embacang lebih rendah mutunya dibandingkan dengan buah kuini. Jadi lebihkurang arti dari peribahasa ini ialah mencari sesuatu yang kecil tetapi tidak disangka-sangka ia malah mendapatkan sesuatu yang besar.
 

2. Bekatak dak mati, ulo dak kepunan = Katak tidak mati, ular tidak dapat bahaya karena tidak mencicip dahulu.
            Arti dari peribahasa ini ialah setiap persoalan /silang sengketa asalkan mampu disikapi secara bijaksana maka dapat ditemukan solusi penyelesaian terbaiknya dimana antara keduabelah pihak tersebut tidak ada yang benar-benar dirugikan.
            

3. Semenjak dian duku limpas, baru tagunek tupak ambai = Ketika durian duku tidak berbuah lagi (habis), baru memanfaatkan (buah) tupak (buah ) ambai.
            Buah durian dan buah duku adalah buah yang kualitasnya lebih baik dari buah tupak dan buah ambai. Ketika musim durian dan duku, maka orang tidak memedulikan buah tupak dan ambai tersebut. Setelah durian dan duku limpas (tidak berbuah lagi), barulah orang melirik buah tupak dan ambai, membeli dan memilih buah tersebut, karena buah durian dan duku tidak ada lagi. Jadi, lebihkurang arti peribahasa ini adalah: kita (seseorang) baru akan digunakan atau diperlukan orang, bilamana sudah tidak ada lagi orang lain yang lebih baik. Kalau masih ada orang lain, maka kita (seseorang tersebut) tidak akan diperhatikan atau tidak terpakai. Peribahasa ini memberikan pesan agar di dalam kehidupan ini kita senantiasa sedia untuk berbuat sesuatu  supaya bisa menjadi sesuatu yang baik dan mempunyai nilai. Kalau hidup mempunyai nilai, maka orang lain pasti akan memperhitungkan kita.


4. Meski ayam dak bakukuk… aghai dak urung siang = Walau ayam tidak berkokok, hari tidak urung siang.
            Biasanya sudah menjadi pertanda bahwa ayam berkokok menjelang siang (cat: siang dimaksud dalam Pepatah ini adalah terang hari). Seandainya ayam itu tidak berkokok, maka hari tetap akan siang juga. Jadi arti peribahasa ini adalah walaupun kita tidak dibantu oleh orang lain, maka pekerjaan kita tetap terlaksana. Inilah dimaksud peribahasa: “Meski ayam dak bakukuk… aghai dak urung siang”.


5. Amon jadi kendak imau, dakke use betanduk panjang = Kalau jadi kehendak harimau, tidak akan rusa bertanduk panjang.
            Biasanya harimau tersebut dinamakan raja hutan, dialah yang dianggap paling berkuasa di hutan –sedangkan binatang lain dianggap enteng atau dianggap lemah, termasuk binatang rusa. Walaupun binatang rusa itu dianggap lemah, belum tentu harimau dapat semena-mena menundukan dan memangsanya. Jadi arti dari peribahasa ini adalah walaupun orang itu kuat dan berkuasa, belum tentu ia dapat menundukan orang yang terlihat lemah; belum tentu orang kuat tersebut dapat memaksakan kehendaknya kepada orang kecil.


6. Nutuh dan tengiran = Memotong dahan tempat bertengger.
            Kalau dahan tempat kita berpijak itu dipotong, pastilah kita akan terjatuh, karena hilang tempat berpijak. Jadi arti peribahasa ini adalah orang yang memperoleh kesusahan dikarenakan ulah atau kebodohan dirinya sendiri yang kurang hati-hati dalam bertindak.


7. Tekinjak di dan mati = Terpijak di dahan mati.
            Kalau kita naik pohon, kemudian kaki kita memijak dahan pohon yang sudah mati atau lapuk maka dahan itu akan patah, dan kita akan terjatuh. Makna dari peribahasa ini adalah kita harus selalu berhati-hati dalam melangkah, jangan sampai kita terjatuh dikarenakan oleh kekurang hati-hatian kita dalam bertindak. Sebab, saat kita terpijak di dahan mati, itu artinya kita sudah berada dalam situasi yang sulit.


8. Besok suap dai mekan = Besar suap dari muka.
            Bagaimana mungkin makanan itu bisa disuap melebihi besar muka kita?
Peribahasa ini ada persamaannya dengan peribahasa yang berbunyi ‘Besar Pasak Dari Pada Tiang’, dimana pengeluaran lebih besar dari pada pendapatan. Itulah yang dimaksud oleh peribahasa: “Besok Suap Dai Mekan”.


9. Makan kurang piring, begawe lebih mandau = Makan kekurangan piring, bekerja kelebihan parang.
            Ketika akan makan, banyak sekali orang yang ikut makan sehingga kekurangan piring. Namun, ketika akan bekerja, tidak banyak orang yang mau ikut membantu sehingga kelebihan parang. Peribahasa ini merupakan suatu sindiran yang sangat halus.


10. Paghak tebing jauh di ayo = Dekat tebing jauh di air.
            Maksud dari peribahasa ini adalah sesuatu yang tampaknya sudah dekat atau tampaknya mudah, setelah dijalani ternyata jauh atau sulit. Itulah yang dikatakan, “Paghak tebing jauh di ayo”.


11. Ayam dambur tambang dinjak = Ayam dihamburkan, tali di-injak.
            Arti peribahasa ini adalah dimisalkan mulanya seseorang tersebut sudah setuju atau merestui suatu pilihan / keputusan, namun kemudian ia sendiri yang menghambat jalannya persetujuan tersebut 


12. Mane luncuk buat puting, mane tepak itulah tari = Di mana lancip jadikan puting, di mana tepuk itulah tari.
            Arti peribahasa ini adalah dalam segala persoalan yang dihadapi kita cari cara mudahnya, jangan mencari sisi sulitnya sehingga persoalan tersebut menjadi dapat cepat terselesaikan.


13.  Ngaitke Paing Dako = Mengaitkan (gigi) Pahing di akar.
            Peribahasa ini maksudnya adalah ada orang atau pihak-pihak yang berkonflik lalu kita ikut campur dan akhirnya secara tidak langsung kita pun terlibat dalam persoalan tersebut, padahal kita tidak ada kepentingan langsung.


14. Takecak dikartu mati, masih diajak ke gelanggang = Terpegang (terambil) dengan kartu mati (yang tidak punya peluang untuk memenangkan), masih di ajak (di ikutkan) ke gelanggang.
            Peribahasa ini mempunyai maksud yakni serupa dalam sebuah pertarungan / pertaruhan, orang / pihak tersebut sudah tidak mempunyai peluang (harapan) lagi untuk memenangkan pertarungan / pertaruhan tersebut, namun meskipun tidak punya peluang untuk menang, nyatanya orang / pihak tersebut masih (di) ikut (kan) juga dalam medan pertarungan.


15. Akal betok dalam gelok = Akal (ikan) betok di dalam stoples
            Peribahasa ini merupakan sindiran tentang seseorang yang cara berpikirnya (sangat) sempit / dangkal, serupa dengan ikan betok (ilm: Anabas testudineus ) yang ada di dalam stoples.


16. Endak tulak bukan rempan, endak raih bukan makanan = Hendak di tolak bukan rempan (kayu-kayu yang hanyut di sungai; sampah), hendak di raih bukan juga makanan.
            Arti peribahasa ini adalah menunjukan suatu pekerjaan / persoalan yang serba salah. Mau ditolak bukan sampah, mau diambil bukan sesuatu yang baik.
                   
                            
17. Setake bekatak bawah pandan, dapat mbau dak dapat asek = Setaka (jarak antara satuan anak tangga) katak di bawah pandan, bisa mencium bau tapi tidak dapat merasakan.
            Peribahasa ini merupakan suatu bentuk sindiran dimisalkan kepada orang yang telah mendapatkan suatu kebaikan (entah dari siapa atau apa), tetapi dianya tidak dapat merasakan / menyadari kebaikan tersebut.


18. Kilo serengkuh dayung, kulu setancap satang = Ke hulu sama-sama merengkuh dayung, ke hilir sama-sama menancapkan satang
            Peribahasa ini menunjukan pengertian tentang orang-orang yang selalu bersama dalam menjalani kehidupan –entah tersebab mereka berkarib ataupun keluarga. Bagaimanapun keadaan jalannya kehidupan, mereka selalu bersama.


19. Takut titik, laju tumpah = Takut jatuh sedikit, terus tertumpah banyak
            Kalau titik ( dibaca : tetegh, huruf e diucapkan dengan datar seperti mengucapkan kata emas) berarti jatuhnya hanya sedikit, kalau tumpah berarti jatuhnya banyak. Takut tetegh laju tumpah maksudnya ialah mulanya orang tersebut takut kehilangan sedikit, tetapi yang justru terjadi ialah ia kehilangan banyak.


20. Sebaik-baik petai tunu = Sebaik-baik petai dibakar
            Meskipun petai itu sudah dibakar, masih tetap juga bau tak sedapnya. Maksud dari peribahasa ini adalah bila sesuatu (orang) itu pada dasarnya adalah orang yang tidak baik, kemudian sifat dan atau sikap berubah menjadi orang yang baik, pun bagaimana baiknya ia tetaplah saja tidak akan benar-benar baik, karena memang orang tersebut pada dasarnya bukanlah orang yang baik.


21. Mbak nunggu nenek balek dai ume = Seperti menunggu nenek pulang dari ladang
Karena yang namanya ‘nenek’ adalah orang yang sudah tua (lanjut usia), maka berjalannya pastilah sangat lambat, sehingga keluarga yang menunggu kepulangannya di rumah tentulah akan sangat lama menunggunya. Peribahasa ini biasanya dipergunakan kala mengungkapkan perasaan yang terlampau kesal karena menunggu seseorang yang terlalu lama.

*bersambung ....